Preman NTT yang di tembak oknum KOPASUS |
Sikap Berbeda Atas Penyerbuan Lapas Cebongan Dengan Korban Densus 88 Oleh Media kristen
Jakarta- Semua media besar di Jakarta menjadikan peristiwa penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, sebagai berita utama (headline).
Media-media di Jakarta mengangkat tinggi-tinggi peristiwa penyerbuan itu. Bahkan, harian Kompas (KOMPAS=Komando Pastor) mengambil judul "Indonesia Dalam Keadaan Bahaya”, tulisnya.
“Pemerintah harus membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus itu. Apalagi, hal itu sudah menjadi sorotan publik internasional. Jika kasus itu tak diungkap, Indonesia terancam bahaya, karena negara dikuasai gerombolan bersenjata”. (Kompas, 26/3).
Lebih dari itu media nasional itu melakukan wawancara sejumlah tokoh, sebagai langkah membentuk opini dengan mewawancarai Rektor Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Franz Magnis Suseno dan Mudji Sutrisno, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar, dan Direktur Ekskutif Imparsial Poengky Indarti.
Diantara pernyataan yang dikutip harian Kompas itu, “Yang bahaya, kalau pencarian keadilan itu kemudian menggunakan senjata. Dampak negatifnya sangat besar, karena masyarakat seakan mendapat pembenaran untuk melakukan kekerasan. Ini juga menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pembunuhan, dan penculikan, tetapi aktornya tidak ditemukan”, ungkap Komaruddin.
“Sangat perlu Presiden membentuk tim pencari fakta. Kalau (fakta) tidak dibuka dan pelaku tidak dihukum, negara dalam keadaan bahaya, karena negara dikuasai kelompok preman dan penegakkan hukum tidak jalan”, ucap Frans Magnis Suseno.
Kebetulan yang mati dalam penyerbuan di Lapas Cebongan itu, berasal dari NTT, yaitu Yohanes Yan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Rewu, Adrianus Candra Galaya, dan Hendrik Angel Sahetapy.
Keempat warga NTT itu, terduga pelaku pembunuhan Anggota Kopassus, Karangmenjangan, Surakarta, Sersan Satu Santoso. Diantara empat terduga pembunuh Sersan Santoso, Juan anggaota Polrestabes Yogyakarta, yang konon sudah dipecat.
Betapa media massa di Jakarta yang begitu dahsyat dan mengangkat tinggi, peristiwa penyerbuan Lapas Cebongan yang menewaskan empat orang NTT, yang diduga melakukan pembunuhan terhadap Anggota Kopassus Sersan Santoso.
Mereka membela habis keempat orang yang terduga pelaku pembunuhan Sersan Santoso. Media-media yang ada itu, juga mendorong kepada pemerintah dan Presiden SBY melakukan tindakan tegas, terhadap pelaku penyerbuan Lapas Cebongan.
Sesungguhnya apa artinya bagi media nasional yang terbit di Jakarta itu, kemudian seakan keempat orang yang telah tewas di Lapas Cebongan itu seperti “martyr”, yang harus dibela habis.
Mereka seperti orang-orang yang sangat berharga, hanya karena mereka tewas diserbu dengan menggunakan senjata oleh sejumlah orang yang belum diketahui identitasnya.
Tetapi, bandingkan dengan mereka yang tewas oleh Densus 88, yang mereka hanya diberi label sebagai ”teroris”, yang sebagian besar adalah para aktivis Islam, mereka yang memiliki cita-cita dan idealisme terhadap prinsip-prinsip Islam, kemudian tewas dengan sangat mengenaskan oleh Densus 88. Tanpa pernah dibuktikan secara hukum kejahatan yang mereka lakukan.
Menurut HAM sudah lebih 83 terduga teroris yang tewas di tangan Densus 88, belum mereka yang disiksa dan penjara. Seakan kalau mereka yang beragama Islam itu, dibunuh dan dibantai oleh aparat menjadi ”given” (dimaklukmi).
Tidak ada satupun media yang membela dan bersifat adil terhadap mereka yang menjadi terduga teroris. Mereka yang sudah tewas akibat tindakan Densus itu, kemudian dibenarkan oleh media-media yang ada, dan diberikan opini mereka sebagai manusia yang palihg jahat, dan berhak dihabisi. Tanpa mengenal belas kasihan lagi.
Padahal, Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, menanggapi sikap yang dilakukan oleh Densus 88, sangat jelas terjadi penghilangan nyawa dengan sewenang-wenang. Seperti yang terjadi di Poso, dan berbagai penembakan lainnya yang dilakukan oleh Densus 88. Media-media nasional tidak pernah memberikan opini yang imbang dan objektif.
Tapi, sekarang dengan kematian empat warga NTT itu, mereka bangkti serentak dan mengangkat sebagai peristwa yang sangat besar. Bahkan, media seperti Kompas, mengatakan, seperti “Negara Dalam Bahaya”. Tidak pernah mengatakan tindakan yang dilakukan oleh Densus 88, yang sangat eksessif (berlebihan) itu, sebagai membahayakan negara.
Media-media yang ada telah bertindak dengan sangat tidak adil, khususnya dalam memberikan opininya terhadap peristiwa yang menimpa umat Islam dengan peristiwa yang menimpa orang-orang Kristen, seperti yang terjadi sekarang ini, yang menimpa empat orang warga NTT, yang menjadi terduga pembunuh anggota Kopassus Sersan Santoso.
Peristiwa yang menimpa umat Islam selalu diputar-balikkan dengan berbagai opini, yang kemudian membuat posisi umat Islam menjadi tertuduh, dan fihak yang salah dan layak dihukum. Bahkan, dihabisi dengan menggunakan kekerasan senjata, seperti yang terjadi di Poso.
Padahal, di Poso, yang menjadi korban adalah umat Islam. Ratusan umat Islam tewas dibantai milisi “kelelawar” yang dipimpin Tibo Cs, yang berasal dari NTT. Tetapi, anehnya sekarang justeru umat Islam yang sekarang dituduh menjadi pelaku kejahatan, dan melakukan tindak terorisme di Poso.
Kasus kejahatan yang dilakukan milisi kristen tidak pernah diungkap dengan tuntas, dan justeru ditutupi, dan sekarang yang menjadi tertuduh umat Islam. Sungguh sangat tragis.
Begitu tidak adilnya media-media kristen dan sekuler menanggapi kasus yang terjadi terutama, kasus yang dialami umat Islam dengan yang dialami oleh orang-orang kristen.
Bahkan, kasus yang sangat tidak penting, seperti kasus gereja Yasmin di Bogor pun (yang sejak awal penuh dengan kelicikan kristen panitia pembangunanya), diadukan ke Komisi HAM internasional. Sungguh sangat tidak adil sikap media-media terhadap kasus Cebongan dibandingkan dengan terduga teroris.
Begitu juga dengan bungkamnya media kristen yang menyembunyikan peristiwa ratusan pemuda Yogya yang mendukung aksi oknum KOPASUS dalam memberantas premanisme di kotaYogyakarta.
Kematian Sersan Heru Santoso, anggota Kopassus, Grup 2, Kandangmenjangan, Surakarta, yang tewas dibunuh secara sadis para preman yang berasal dari Ambon dan NTT, di Hugo's Cafe, berubah menjadi dukungan simpati terhadap kesatuan elite itu.
Kalangan pemuda dan rakyat Yogyakarta, memberikan dukungan kepada Kopassus, guna memberantas dan membersihkan para preman dari Yogyakarta. Karena, selama ini ada pembiaran terhadap para preman, dan bahkan ada oknum aparat yang memberikan dukungan kepada para preman.
TNI Angkatan Darat dan Kopassus, beberapa hari ini, terus diharu-biru oleh media seperti Kompas, Tempo, dan lainnya, yang dituduh melakukan hukum rimba, ketika mengeksekusi empat orang preman dan mantan anggota polisi yang membunuh secara sadis Sersan Heru Santoso.
Kecemanan dan cercaaan itu, kemudian berbalik menjadi dukungan rakyat dan elemen-elemen pemuda Yogyakarta, yang menginginkkan kota pelajar dan budaya itu dibersihkan dari para preman. Rakyat dan para pemuda Yogyakarta mendukung tindakan Kopassus yang mengeksekusi para preman.
Yogyakarta, kota pelajar dan budaya yang tenang, berubah penuh dengan kekerasan sejak berdatangannya orang-orang dari Ambon dan NTT, bahkan berkembangnya budaya kekerasan, narkoba, dan minum, alias premanisme.
Ketenangan menjadi porak-poranda. Kekerasan kerap terjadi dan keributan menyeruak di seantero kota Yogyakarta. Semua ini berlangsung, karena adanya dukungan dan main mata, antara para preman Ambon dan NTT dengan oknum aparat kepolisian.
Hari Minggu, di kota Yogyakarta, di tengah guyuran hujan, berlangsung aksi dukungan terhadap Kopassus. Ratusan pemuda dari berbagai elemen, menggelar aksi dan melakukan orasi mendukung tindakan Kopassus yang membersihkan para preman dari kota pelajar dan budaya itu.
Mereka menginginkan kota Yogyakarta bersih dari segala bentuk premanisme, yang sekarang sudah menjadi ancaman nyata kehidupan mereka. Mereka menginginkan Yogyakarta dibersihkan dari premanisme. Karena itu, sekarang rakyat Yogyakarta terus melakukan sweeping dan pengawasan terhadap orang-orang yang berprofesi preman.
Ratusan pemuda menggelar aksi dukungan atas kejujuran Kopassus, Kandangmenjangan yang mengakui perbuatannya. Para anggota Kopassus itu sudah mengakui sebagai pelaku penempbakan empat penghuni Lapas Cebongan, yang berasal dari Ambon dan NTT.
Selama ini rakyat Yogyakarta sangat diresahkan orang-orang Ambon dan NTT, yang selalu mengintimidasi mereka. Dengan berbagai bentuk kekerasan yang mereka lakukan. Dengan tindakan yang dilakukan Kopassus itu, rakyat Yogyakarta kembali memiliki spirit melawan para preman itu.
Ratusan elemen pemuda dan rakyat Yogyakarta itu, berasal dari FKPPI, Paksitkaton, Jogya Otomotif, Rembug Jogya, Jogya Community, GP Ansor, dan beberapa elemen lainnya dari rakyat Yogyakarta. Kelompok-kelompok itu bergabung dalam : "Pemuda Anti Premanisme".
Di Tugu Perjuangan, para pemuda itu, salah satu diantara pemuda itu, melakukan orasi tanpa henti, dan mengungkapkan dukungannya kepada Kopassus. Orasi yang dilakukannya itu, sebagai bentuk dukungan dan simpati terhadap anggota Kopassus,Sersan Heru Santoso. Kemudian, mereka mengumpulkan dana : "Semiliar Koin untuk Serka Heru".
"Ini aksi dukungan kita kepada Kopassus yang dengan berani memberantas preman Yogyakarta", kata Utomo, Koordinator aksi. Ratusan pemuda menglilingi Tugu dengan benda Merah Putih sepanjang 60 meter. Mereka juga menggelar tabur bunga dan do'a bersama untuk almarhum Serka Heru Santoso.
Beberapa spanduk dikibarkan mengelilingi Tugu bertuliskan, "Rakyat-TNI bersatu berantas premanisme, Terimakasih Kopassus, Yogya Aman Preman Minggat, Kastria Kopasssu Berani Berubat Berani Bertanggungjawab", dan "Preman itu Pengecut dan Tak Punya Perasaan".
Memang, sejak terjadi pembunuhan Serka Santoso, dan kemudian terjadinya pembunuhan terhadap empat orang preman dari Ambon dan NTT, banyak para pemuda yang berasal dari Ambon dan NTT itu, meninggalkan Yogyakarta, dan sebagian diantara mereka meminta perlindungan gereja.
"Kita menolak tegas premanisme dan usir Yoyakarata", ujar Utomo. Dengan aksi itu menunjukkan solidaritas pemuda Yogyakarta, yang menginginkan kota Yogya menjadi aman dan bebas segagala bentuk premanisme.
Dibangian lain, pengumpulan semilair koin untuk almarhum Serka Heru Santosos dialkukan dengan mengedarkan kardus bertuliskan : "Semiliar koin Serka Heru Santoso", kepada pengendara motor, mobil, dan pejalan kaki yang melewati Tugu.
Selanjutnya, menurut Prasetyo, salah satu orator yang ikut dalam aksi di Tugu itu, mengatakan pengumpulan "semiliar koin", merupakan bentuk solidaritas bagi almarhum Serka Heru Santoso. Pengumpulan koin itu akan dilakukan selama satu bulan. Memang, rakyat sudah sangat letih, melihat berbagai kekerasan yang dilakukan para preman, sementara mereka ini, mendapatkan dukungan dari oknum aparat.
Aksi para pemuda itu, kemudian diakhiri dengan melakukan konvoi yang membawa foto Serka Heru Santoso diiringi bendera Merah Putih, sepanjang 60 meter, dan berbagai spanduk, serta foto Serka Heru Santoso diletakkan dibawah patung Jenderal Sudirman di halaman Gedung DPRD DI Yogyakarta.
Sementara itu, mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Jenderal AM Hendropriyono mengatakan, “Premanisme di Jogja yang merajalela ini membuktikan hukum bisu. Hukum tidak bisa menyentuh preman-preman ini. Hukum ini masih punya legalitas tapi sudah tidak punya legitimasi. Hukum ini sudah tidak mempunyai daya rekatnya, sehingga masyarakat sudah tidak percaya lagi,” ungkap Hendro kepada wartawan di Jakarta, Senin (8/4/2013)
“Makanya secara hukum mereka salah, tapi secara moral mereka baik. Kalau perlu mereka dapat bintang mahaputra,” papar Kepala BIN 2001-2004 ini.
Oleh sebab itu, Alumni Akmil 1967 ini meminta masyarakat memahami kasus ini secara menyeluruh, tidak sepotong-potong. Selain itu, Hendro juga meminta masyarakat tidak menyeret-nyeret pimpinan Kopassus dalam perkara tersebut.
“Apa yang dilakukan prajurit-prajurit Kopassus ini di Cebongan, kalau secara moral dia adalah prajurit yang baik, tapi secara hukum dia salah. Seandainya dia harus dihukum, dia tetap seorang prajurit yang baik. Kalau perlu dikasih bintang jasa itu sama masyarakat. Hukum bicara yang benar dan yang salah. Moral bicara yang baik dan yang jelek. Hukumnya bisu, makanya senjata saja yang bunyi,” tambah Hendro. af/rplk.
Jakarta- Semua media besar di Jakarta menjadikan peristiwa penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, sebagai berita utama (headline).
Media-media di Jakarta mengangkat tinggi-tinggi peristiwa penyerbuan itu. Bahkan, harian Kompas (KOMPAS=Komando Pastor) mengambil judul "Indonesia Dalam Keadaan Bahaya”, tulisnya.
“Pemerintah harus membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus itu. Apalagi, hal itu sudah menjadi sorotan publik internasional. Jika kasus itu tak diungkap, Indonesia terancam bahaya, karena negara dikuasai gerombolan bersenjata”. (Kompas, 26/3).
Lebih dari itu media nasional itu melakukan wawancara sejumlah tokoh, sebagai langkah membentuk opini dengan mewawancarai Rektor Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya Franz Magnis Suseno dan Mudji Sutrisno, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar, dan Direktur Ekskutif Imparsial Poengky Indarti.
Diantara pernyataan yang dikutip harian Kompas itu, “Yang bahaya, kalau pencarian keadilan itu kemudian menggunakan senjata. Dampak negatifnya sangat besar, karena masyarakat seakan mendapat pembenaran untuk melakukan kekerasan. Ini juga menambah daftar panjang pelanggaran hak asasi manusia (HAM), pembunuhan, dan penculikan, tetapi aktornya tidak ditemukan”, ungkap Komaruddin.
“Sangat perlu Presiden membentuk tim pencari fakta. Kalau (fakta) tidak dibuka dan pelaku tidak dihukum, negara dalam keadaan bahaya, karena negara dikuasai kelompok preman dan penegakkan hukum tidak jalan”, ucap Frans Magnis Suseno.
Kebetulan yang mati dalam penyerbuan di Lapas Cebongan itu, berasal dari NTT, yaitu Yohanes Yan Manbait, Gameliel Yermiyanto Rohi Rewu, Adrianus Candra Galaya, dan Hendrik Angel Sahetapy.
Keempat warga NTT itu, terduga pelaku pembunuhan Anggota Kopassus, Karangmenjangan, Surakarta, Sersan Satu Santoso. Diantara empat terduga pembunuh Sersan Santoso, Juan anggaota Polrestabes Yogyakarta, yang konon sudah dipecat.
Betapa media massa di Jakarta yang begitu dahsyat dan mengangkat tinggi, peristiwa penyerbuan Lapas Cebongan yang menewaskan empat orang NTT, yang diduga melakukan pembunuhan terhadap Anggota Kopassus Sersan Santoso.
Mereka membela habis keempat orang yang terduga pelaku pembunuhan Sersan Santoso. Media-media yang ada itu, juga mendorong kepada pemerintah dan Presiden SBY melakukan tindakan tegas, terhadap pelaku penyerbuan Lapas Cebongan.
Sesungguhnya apa artinya bagi media nasional yang terbit di Jakarta itu, kemudian seakan keempat orang yang telah tewas di Lapas Cebongan itu seperti “martyr”, yang harus dibela habis.
Mereka seperti orang-orang yang sangat berharga, hanya karena mereka tewas diserbu dengan menggunakan senjata oleh sejumlah orang yang belum diketahui identitasnya.
Tetapi, bandingkan dengan mereka yang tewas oleh Densus 88, yang mereka hanya diberi label sebagai ”teroris”, yang sebagian besar adalah para aktivis Islam, mereka yang memiliki cita-cita dan idealisme terhadap prinsip-prinsip Islam, kemudian tewas dengan sangat mengenaskan oleh Densus 88. Tanpa pernah dibuktikan secara hukum kejahatan yang mereka lakukan.
Menurut HAM sudah lebih 83 terduga teroris yang tewas di tangan Densus 88, belum mereka yang disiksa dan penjara. Seakan kalau mereka yang beragama Islam itu, dibunuh dan dibantai oleh aparat menjadi ”given” (dimaklukmi).
Tidak ada satupun media yang membela dan bersifat adil terhadap mereka yang menjadi terduga teroris. Mereka yang sudah tewas akibat tindakan Densus itu, kemudian dibenarkan oleh media-media yang ada, dan diberikan opini mereka sebagai manusia yang palihg jahat, dan berhak dihabisi. Tanpa mengenal belas kasihan lagi.
Padahal, Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, menanggapi sikap yang dilakukan oleh Densus 88, sangat jelas terjadi penghilangan nyawa dengan sewenang-wenang. Seperti yang terjadi di Poso, dan berbagai penembakan lainnya yang dilakukan oleh Densus 88. Media-media nasional tidak pernah memberikan opini yang imbang dan objektif.
Tapi, sekarang dengan kematian empat warga NTT itu, mereka bangkti serentak dan mengangkat sebagai peristwa yang sangat besar. Bahkan, media seperti Kompas, mengatakan, seperti “Negara Dalam Bahaya”. Tidak pernah mengatakan tindakan yang dilakukan oleh Densus 88, yang sangat eksessif (berlebihan) itu, sebagai membahayakan negara.
Media-media yang ada telah bertindak dengan sangat tidak adil, khususnya dalam memberikan opininya terhadap peristiwa yang menimpa umat Islam dengan peristiwa yang menimpa orang-orang Kristen, seperti yang terjadi sekarang ini, yang menimpa empat orang warga NTT, yang menjadi terduga pembunuh anggota Kopassus Sersan Santoso.
Peristiwa yang menimpa umat Islam selalu diputar-balikkan dengan berbagai opini, yang kemudian membuat posisi umat Islam menjadi tertuduh, dan fihak yang salah dan layak dihukum. Bahkan, dihabisi dengan menggunakan kekerasan senjata, seperti yang terjadi di Poso.
Padahal, di Poso, yang menjadi korban adalah umat Islam. Ratusan umat Islam tewas dibantai milisi “kelelawar” yang dipimpin Tibo Cs, yang berasal dari NTT. Tetapi, anehnya sekarang justeru umat Islam yang sekarang dituduh menjadi pelaku kejahatan, dan melakukan tindak terorisme di Poso.
Kasus kejahatan yang dilakukan milisi kristen tidak pernah diungkap dengan tuntas, dan justeru ditutupi, dan sekarang yang menjadi tertuduh umat Islam. Sungguh sangat tragis.
Begitu tidak adilnya media-media kristen dan sekuler menanggapi kasus yang terjadi terutama, kasus yang dialami umat Islam dengan yang dialami oleh orang-orang kristen.
Bahkan, kasus yang sangat tidak penting, seperti kasus gereja Yasmin di Bogor pun (yang sejak awal penuh dengan kelicikan kristen panitia pembangunanya), diadukan ke Komisi HAM internasional. Sungguh sangat tidak adil sikap media-media terhadap kasus Cebongan dibandingkan dengan terduga teroris.
Begitu juga dengan bungkamnya media kristen yang menyembunyikan peristiwa ratusan pemuda Yogya yang mendukung aksi oknum KOPASUS dalam memberantas premanisme di kotaYogyakarta.
Kematian Sersan Heru Santoso, anggota Kopassus, Grup 2, Kandangmenjangan, Surakarta, yang tewas dibunuh secara sadis para preman yang berasal dari Ambon dan NTT, di Hugo's Cafe, berubah menjadi dukungan simpati terhadap kesatuan elite itu.
Kalangan pemuda dan rakyat Yogyakarta, memberikan dukungan kepada Kopassus, guna memberantas dan membersihkan para preman dari Yogyakarta. Karena, selama ini ada pembiaran terhadap para preman, dan bahkan ada oknum aparat yang memberikan dukungan kepada para preman.
TNI Angkatan Darat dan Kopassus, beberapa hari ini, terus diharu-biru oleh media seperti Kompas, Tempo, dan lainnya, yang dituduh melakukan hukum rimba, ketika mengeksekusi empat orang preman dan mantan anggota polisi yang membunuh secara sadis Sersan Heru Santoso.
Kecemanan dan cercaaan itu, kemudian berbalik menjadi dukungan rakyat dan elemen-elemen pemuda Yogyakarta, yang menginginkkan kota pelajar dan budaya itu dibersihkan dari para preman. Rakyat dan para pemuda Yogyakarta mendukung tindakan Kopassus yang mengeksekusi para preman.
Yogyakarta, kota pelajar dan budaya yang tenang, berubah penuh dengan kekerasan sejak berdatangannya orang-orang dari Ambon dan NTT, bahkan berkembangnya budaya kekerasan, narkoba, dan minum, alias premanisme.
Ketenangan menjadi porak-poranda. Kekerasan kerap terjadi dan keributan menyeruak di seantero kota Yogyakarta. Semua ini berlangsung, karena adanya dukungan dan main mata, antara para preman Ambon dan NTT dengan oknum aparat kepolisian.
Hari Minggu, di kota Yogyakarta, di tengah guyuran hujan, berlangsung aksi dukungan terhadap Kopassus. Ratusan pemuda dari berbagai elemen, menggelar aksi dan melakukan orasi mendukung tindakan Kopassus yang membersihkan para preman dari kota pelajar dan budaya itu.
Mereka menginginkan kota Yogyakarta bersih dari segala bentuk premanisme, yang sekarang sudah menjadi ancaman nyata kehidupan mereka. Mereka menginginkan Yogyakarta dibersihkan dari premanisme. Karena itu, sekarang rakyat Yogyakarta terus melakukan sweeping dan pengawasan terhadap orang-orang yang berprofesi preman.
Ratusan pemuda menggelar aksi dukungan atas kejujuran Kopassus, Kandangmenjangan yang mengakui perbuatannya. Para anggota Kopassus itu sudah mengakui sebagai pelaku penempbakan empat penghuni Lapas Cebongan, yang berasal dari Ambon dan NTT.
Selama ini rakyat Yogyakarta sangat diresahkan orang-orang Ambon dan NTT, yang selalu mengintimidasi mereka. Dengan berbagai bentuk kekerasan yang mereka lakukan. Dengan tindakan yang dilakukan Kopassus itu, rakyat Yogyakarta kembali memiliki spirit melawan para preman itu.
Ratusan elemen pemuda dan rakyat Yogyakarta itu, berasal dari FKPPI, Paksitkaton, Jogya Otomotif, Rembug Jogya, Jogya Community, GP Ansor, dan beberapa elemen lainnya dari rakyat Yogyakarta. Kelompok-kelompok itu bergabung dalam : "Pemuda Anti Premanisme".
Di Tugu Perjuangan, para pemuda itu, salah satu diantara pemuda itu, melakukan orasi tanpa henti, dan mengungkapkan dukungannya kepada Kopassus. Orasi yang dilakukannya itu, sebagai bentuk dukungan dan simpati terhadap anggota Kopassus,Sersan Heru Santoso. Kemudian, mereka mengumpulkan dana : "Semiliar Koin untuk Serka Heru".
"Ini aksi dukungan kita kepada Kopassus yang dengan berani memberantas preman Yogyakarta", kata Utomo, Koordinator aksi. Ratusan pemuda menglilingi Tugu dengan benda Merah Putih sepanjang 60 meter. Mereka juga menggelar tabur bunga dan do'a bersama untuk almarhum Serka Heru Santoso.
Beberapa spanduk dikibarkan mengelilingi Tugu bertuliskan, "Rakyat-TNI bersatu berantas premanisme, Terimakasih Kopassus, Yogya Aman Preman Minggat, Kastria Kopasssu Berani Berubat Berani Bertanggungjawab", dan "Preman itu Pengecut dan Tak Punya Perasaan".
Memang, sejak terjadi pembunuhan Serka Santoso, dan kemudian terjadinya pembunuhan terhadap empat orang preman dari Ambon dan NTT, banyak para pemuda yang berasal dari Ambon dan NTT itu, meninggalkan Yogyakarta, dan sebagian diantara mereka meminta perlindungan gereja.
"Kita menolak tegas premanisme dan usir Yoyakarata", ujar Utomo. Dengan aksi itu menunjukkan solidaritas pemuda Yogyakarta, yang menginginkan kota Yogya menjadi aman dan bebas segagala bentuk premanisme.
Dibangian lain, pengumpulan semilair koin untuk almarhum Serka Heru Santosos dialkukan dengan mengedarkan kardus bertuliskan : "Semiliar koin Serka Heru Santoso", kepada pengendara motor, mobil, dan pejalan kaki yang melewati Tugu.
Selanjutnya, menurut Prasetyo, salah satu orator yang ikut dalam aksi di Tugu itu, mengatakan pengumpulan "semiliar koin", merupakan bentuk solidaritas bagi almarhum Serka Heru Santoso. Pengumpulan koin itu akan dilakukan selama satu bulan. Memang, rakyat sudah sangat letih, melihat berbagai kekerasan yang dilakukan para preman, sementara mereka ini, mendapatkan dukungan dari oknum aparat.
Aksi para pemuda itu, kemudian diakhiri dengan melakukan konvoi yang membawa foto Serka Heru Santoso diiringi bendera Merah Putih, sepanjang 60 meter, dan berbagai spanduk, serta foto Serka Heru Santoso diletakkan dibawah patung Jenderal Sudirman di halaman Gedung DPRD DI Yogyakarta.
Sementara itu, mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) Jenderal AM Hendropriyono mengatakan, “Premanisme di Jogja yang merajalela ini membuktikan hukum bisu. Hukum tidak bisa menyentuh preman-preman ini. Hukum ini masih punya legalitas tapi sudah tidak punya legitimasi. Hukum ini sudah tidak mempunyai daya rekatnya, sehingga masyarakat sudah tidak percaya lagi,” ungkap Hendro kepada wartawan di Jakarta, Senin (8/4/2013)
“Makanya secara hukum mereka salah, tapi secara moral mereka baik. Kalau perlu mereka dapat bintang mahaputra,” papar Kepala BIN 2001-2004 ini.
Oleh sebab itu, Alumni Akmil 1967 ini meminta masyarakat memahami kasus ini secara menyeluruh, tidak sepotong-potong. Selain itu, Hendro juga meminta masyarakat tidak menyeret-nyeret pimpinan Kopassus dalam perkara tersebut.
“Apa yang dilakukan prajurit-prajurit Kopassus ini di Cebongan, kalau secara moral dia adalah prajurit yang baik, tapi secara hukum dia salah. Seandainya dia harus dihukum, dia tetap seorang prajurit yang baik. Kalau perlu dikasih bintang jasa itu sama masyarakat. Hukum bicara yang benar dan yang salah. Moral bicara yang baik dan yang jelek. Hukumnya bisu, makanya senjata saja yang bunyi,” tambah Hendro. af/rplk.